Tulisan ini terinspirasi dari sebuah artikel yang
di “share” seseorang di salah satu media. Artikel itu mengisahkan seseorang
yang mempertannyakan jalan hidup yang seharusnya menjadi pilihan setiap orang,
rupanya sejak awal sudah dipaksakan dan mau tidak mau harus diterima.
Sadar atau tidak, hal ini sebenarnya adalah
pelanggaran. Tetapi terlepas seperti apa orang per orang melakukan penilaian
atau pemahaman tentang itu, ada baiknya untuk membaca tulisan ini hingga
tuntas, agar pembaca sekalian menemukan dasar yang baik untuk menentukan sebuah
kesimpulan.
Selamat Membaca ... !!!
Seorang pemuda bernama Tagor (bukan nama
sebenarnya), dia lahir di Tapanuli dari pasangan Kristen, maka otomatis Tagor
juga beragama Kristen. Tetapi jika Tagor lahir ditengah keluarga Madura atau
Bali yang pada umumnya adalah keluarga Moslem atau Hindu, apakah ada jaminan
kalau Tagor memeluk agama kristen ? ... Tentu saja tidak ada jaminan. Tagor
tidak bisa memilih darimana dan dimana ia akan dilahirkan. Dan ketika ia lahir,
ia telah memiliki identitas suku dan agama tanpa diberi kesempatan untuk
memilih.
Begitu juga dengan bentuk identitas lain selain
agama, misalnya nama, warga negara semua itu adalah warisan. Tagor sudah
memiliki identitas itu sejak ia masih bayi. Sebelum Tagor lahir, semua sudah
disediakan dan ketika ia lahir warisan itu segera diteguhkan menjadi identitas
Tagor. Hal serupa tentu saja dirasakan orang lain seperti apa yang dirasakan
Tagor. Mereka juga tidak bisa memilih, seperti Tagor yang memang tidak diberi
kesempatan untuk memilih.
Beberapa menit setelah Tagor lahir, lingkungannya
menentukan suku, agama, ras dan kewarganegaraannya. Hal itu terjadi dengan
otomatis. Selanjutnya, Tagor akan membela sampai mati, segala hal yang menjadi
identitas dirinya itu, yang bahkan sama sekali tidak pernah ia putuskan
sendiri.
Sejak usia dini, Tagor sudah mendapatkan doktrin
bahwa Kristen adalah satu-satunya agama yang benar. Satu-satunya jalan menuju
surga, kelak setelah kehidupan duniawi berakhir. Tagor mengasihani mereka yang
bukan Kristen, sebab mereka setelah mati akan masuk neraka.
Rupanya, teman-teman Tagor yang non Kristen juga
memiliki doktrin sendiri, yang isinya cenderung lebih keras dari doktrin ajaran
agama yang ia imani. Teman-teman Tagor mengklaim, agama mereka adalah agama
yang paling sempurna. Setiap orang yang berada diluar itu, akan binasa karena
tidak berhak masuk surga.
Tagor membayangkan bahaya yang akan terjadi, jika
tak henti satu sama lain saling tarik menarik untuk berpindah agama. Ia juga
membayangkan konplik itu akan meningkat menjadi pertumpahan darah, jika
masing-masing pemeluk agama yang berbeda saling beradu superioritas, yang jika
ditelusuri tidak akan pernah ada titik temunya.
Pembaca yang budiman ...
Kebenaran adalah sekeping cermin yang tergantung
ditangan Tuhan, yang ketika jatuh akan pecah dan hancur berkeping-keping.
Artinya, kebenaran yang diibaratkan seperti kaca, jika jatuh ia akan pecah dan
hancur menjadi kepingan-kepingan kebenaran.
Begitu pula dengan agama-agama yang ada, yang oleh
pemeluknya diklaim sebagai jalan kebenaran. Ia ibarat cermin yang jatuh dari tangan
Tuhan, kemudian pecah dan menjadi kepingan-kepingan agama, yang memiliki
kebenaran pada tingkat yang sama. Pecahan itulah yang oleh setiap orang
kemudian diambil untuk diimani.
Tetapi pada prakteknya, setiap orang yang memungut
kepingan itu, berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh. Masing-masing
mengklaim, kepingan yang mereka ambil adalah kepingan yang akan menunjukkan
jalan yang paling benar. Dan hal ini menjadi salah satu karakteristik umat
beragama, dimana mereka saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka tidak butuh
pembuktian, karena tindakan ini adalah soal iman.
Manusia bisa saja memiliki hak untuk menyampaikan
sabda atau firman Tuhan, tetapi ia tidak bisa bertindak bahkan mencoba menjadi
Tuhan. Manusia memang berhak untuk menyampaikan sabda atau firman Tuhan, tetapi
tidak berhak untuk menentukan orang, akan masuk surga atau neraka.
Perlu disadari, latar belakang dari semua
perselisihan adalah, lantaran masing-masing mengklaim bahwa golongan mereka adalah
golongan yang paling benar. Mereka tidak peduli bahwa semua itu adalah warisan,
dan mengamini bahwa hal itu Tuhan sendiri yang mengatakan.
Jika bukan Tuhan, lantas siapa yang menciptakan
mahluk yang mengimani agama lain. Lalu mereka yang tidak beragama, mengapa sampai
sekarang masih dipelihara oleh Tuhan ?
Pembaca yang budiman ...
Semua agama dan aliran kepercayaan yang ada, tak satupun
diantaranya meragukan Ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Semua mengatakan bahwa Tuhan itu
Maha Segala-galanya. Jika Ia mau, Tuhan bisa menjadikan semua sama. Agama sama,
satu bangsa dan budaya yang sama. Tetapi Tuhan tidak melakukan itu, karena Ia
telah menyematkan kebenaran pada perbedaan-perbedaan yang ada.
Lantas ... jika suatu negara didiami oleh rakyat
dengan agama yang sama, apakah hal itu akan menjamin kerukunan ?.
Faktanya, beberapa negara yang rakyatnya memiliki
agama yang sama, budaya yang sama, mereka justru terlibat konflik yang berkepanjangan.
Jadi ... agama yang sama tidak menjamin rakyat sebuah negara hidup dalam kerukunan.
Tidak menjamin hidup nyaman dan juga tidak menjamin hidup dalam ketenteraman.
Ketika sentimen mayoritas-minoritas menjajah
pikiran, jangan heran kalau rasa kemanusiaan akan hilang dari nurani kita. Coba
kita berpikir secara perlahan, jika masing-masing agama menuntut agar Kitab
Sucinya dijadikan sebagai dasar negara. Maka kita tinggal menunggu saja kehancuran
Indonesia yang kita cinta ini.
Itulah sebabnya, mengapa Indonesia dalam mengambil
kebijakan di bidang politik, hukum dan ham tidak berdasarkan Kitab Suci yang
ada, melainkan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pancasila dan UUD ’45 sebagai dasar negara,
menjamin kebebesan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meyakini dan menjalankakan
ajaran agama masing-masing. Namun mereka tidak berhak memaksakan perspektif dan
ajaran agamanya, untuk digunakan sebagai indikator penilaian terhadap warga
negara pemeluk agama lain.
Sebuah kelompok agama tidak berhak mengintervensi
kebijakan sebuah negara, dimana rakyat negara itu memiliki beragam keyakinan.
Agama sebagai lembaga, harus menyadari bahwa mereka adalah sebuah kelompok yang
menjadi bagian, dalam satu kesatuan sebagai bangsa dan negara yang berdaulat.
Pembaca yang budiman ...
Suatu saat nanti dimasa yang akan datang, kita akan
berkisah kepada anak dan cucu kita, betapa negara ini hampir hancur tercerai
berai, hanya karena oknum orang per orang yang saling mengunggulkan dan
meributkan warisan masing-masing. Ketika negara lain sudah pergi ke bulan, kita
masih sibuk meributkan tentang warisan identitas, yang kita sendiri tidak
pernah ditanya terlebih dahulu untuk itu.
Sebagai sesama anak bangsa marilah memandang
Indonesia dari perspektif yang sama, dengan berupaya menghindar dari
pertikaian-pertikaian yang berpotensi untuk menjadikan Indonesia kita ini
terpecah menjadi kepingan-kepingan yang kecil.
Jayalah negeriku, Jayalah Indonesia Raya ... !!!
SALAM GEMILANG.