Tiga Balata, kota kecil di Kabupaten Simalungan Provinsi Sumatera
Utara, kota yang teduh, tenang dan jauh dari kebisingan. Demikian aku
menggambarkan, setiap aku teringat pada kota kecil ini. Sebagai kota asal bagi
perantau yang terlahir disini, kota ini sudah pasti menjadi sebuah kenangan
yang indah, dan menjadi sasaran puja puji.
Secara
umum, penduduk Tigabalata dan sekitarnya hidup dari hasil pertanian. Sekalipun
ada penduduk sebagai aparatur negara, jumlahnya tidaklah seberapa, karena
instansi pemerintahan di kota ini tergolong sangat kecil jumlahnya. Selebihnya,
penduduk Tigabalata dan sekitarnya juga bekerja menjadi karyawan di perkebunan
serta menjadi masyarakat yang bekerja secara serabutan.
Sebelum
diganti menjadi perkebunan kelapa sawit, dulunya Tigabalata dikelilingi
perkebunan teh. Mulai dari Simpang Parmonangan, Sibunga-bunga sampai Hutaurung
semua itu adalah wilayah perkebunan teh. Tetapi kini semua telah berubah. Tidak
adalagi kebun teh, melainkan kebun kelapa sawit.
Mayoritas
penduduk Tigabalata didiami masyarakat etnik Batak Toba, kemudian Batak
Simalungun lalu etnik Jawa dan sebagian kecil etnik lain. Mereka tersebar
diberbagai tempat di sekitar Tigabalata, dan telah memeluk agama Kristen,
Katolik dan Islam. Walaupun ada, tak seberapa penduduk yang masih memeluk agama
tradisional.
Hal
yang unik dari kota kecil ini adalah, gelar pasar tradisional yang hanya
terselenggara sekali dalam sepekan. Kalaupun dua kali, satu diantaranya hanyalah
pasar yang bersifat asal ada. Artinya, komoditi yang dijual sebagai kebutuhan
pasar tidaklah selengkap saat pasar utama digelar.
Dengan
demikian, kota ini akan tampak hiruk pikuknya kala pasar tradisional sedang
berlangsung, yaitu pada hari Jumat setiap pekannya. Selebihnya, hari demi hari
akan terasa sepi.
Sekalipun
kota ini tergolong sepi, namun kendaraan terus lalu lalang melalui kota ini.
Kota kecil ini menjadi salah satu lintasan jalan provinsi, yang terkenal dengan
sebutan jalan "Antar Lintas Sumatera". Kendaraan yang lalu lalang
itulah, sesekali dengan berani memecah keheningan, melintas lalu pergi,
kemudian meninggalkan kota Tigabalata seolah tak peduli.
Selain
itu, kota kecil ini juga disebut dengan "Balata Pokkan" ( baca -
Balata Pekan). Kata pekan ditambahkan, untuk lebih menegaskan wilayah mana yang
hendak diberitahukan. Dengan menyebut Balata Pokkan, orang-orang sekitar akan
mengetahui bahwa yang dimaksud adalah Tigabalata, tempat pasar tradisional
diselenggarakan setiap pekan.
Sekecil
apapun Tigabalata, kota ini tentu sangat dicinta oleh masyarakatnya dan akan
selalu dirindukan oleh perantaunya. Relasi antar masyarakat yang berdasarkan
asas kekeluargaan yang kuat, membuat kerinduan setiap perantau terus meninggi
lalu melahirkan keinginan untuk kembali pulang dan berinteraksi di kampung
halamannya ini.
Kampung
halaman adalah sebuah tempat dimana berbagai peristiwa bisa tercipta, dan
menjadi alat yang baik untuk digunakan dalam mengenang peristiwa masa silam. Ia
menjadi tempat tujuan pulang dari perantauan, tempat yang selalu dirindukan
saat keinginan pulang kampung belum sempat terwujud.
Sekalipun
aku bukan putera daerah Tigabalata, namun tak sedikit kenanganku tinggal di
kota ini. Dengan tak menapikan unsur lain, cinta adalah salah satu alasan mengapa
aku harus berhubungan dengan Tigabalata. Karena urusan asmara, kemudian aku
sering melintas di kota ini, sehingga aku mengenalnya lebih banyak.
Dari
kota ini aku mendapatkan salah satu anugerah terbesar, dimana aku bertemu
dengan tulang rusukku, yaitu wanita yang hingga kini mendampingi aku. Inilah
salah satu peristiwa besar hidupku, dimana kota Tigabalata masuk menjadi salah
satu warnanya. Dari kota ini, aku menambah dua lagi orang tua bagiku, ayah dan
ibu mertuaku, kakek dan nenek dari anak-anakku.
Sekian
dan Terimakasih ...
SALAM GEMILANG