Selasa, 21 Agustus 2018

IMAN, IDENTITAS WARISAN YANG DIBELA SAMPAI MATI

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah artikel yang di “share” seseorang di salah satu media. Artikel itu mengisahkan seseorang yang mempertannyakan jalan hidup yang seharusnya menjadi pilihan setiap orang, rupanya sejak awal sudah dipaksakan dan mau tidak mau harus diterima.

Sadar atau tidak, hal ini sebenarnya adalah pelanggaran. Tetapi terlepas seperti apa orang per orang melakukan penilaian atau pemahaman tentang itu, ada baiknya untuk membaca tulisan ini hingga tuntas, agar pembaca sekalian menemukan dasar yang baik untuk menentukan sebuah kesimpulan.


Selamat Membaca ... !!!

Seorang pemuda bernama Tagor (bukan nama sebenarnya), dia lahir di Tapanuli dari pasangan Kristen, maka otomatis Tagor juga beragama Kristen. Tetapi jika Tagor lahir ditengah keluarga Madura atau Bali yang pada umumnya adalah keluarga Moslem atau Hindu, apakah ada jaminan kalau Tagor memeluk agama kristen ? ... Tentu saja tidak ada jaminan. Tagor tidak bisa memilih darimana dan dimana ia akan dilahirkan. Dan ketika ia lahir, ia telah memiliki identitas suku dan agama tanpa diberi kesempatan untuk memilih.

Begitu juga dengan bentuk identitas lain selain agama, misalnya nama, warga negara semua itu adalah warisan. Tagor sudah memiliki identitas itu sejak ia masih bayi. Sebelum Tagor lahir, semua sudah disediakan dan ketika ia lahir warisan itu segera diteguhkan menjadi identitas Tagor. Hal serupa tentu saja dirasakan orang lain seperti apa yang dirasakan Tagor. Mereka juga tidak bisa memilih, seperti Tagor yang memang tidak diberi kesempatan untuk memilih.

Beberapa menit setelah Tagor lahir, lingkungannya menentukan suku, agama, ras dan kewarganegaraannya. Hal itu terjadi dengan otomatis. Selanjutnya, Tagor akan membela sampai mati, segala hal yang menjadi identitas dirinya itu, yang bahkan sama sekali tidak pernah ia putuskan sendiri.

Sejak usia dini, Tagor sudah mendapatkan doktrin bahwa Kristen adalah satu-satunya agama yang benar. Satu-satunya jalan menuju surga, kelak setelah kehidupan duniawi berakhir. Tagor mengasihani mereka yang bukan Kristen, sebab mereka setelah mati akan masuk neraka.

Rupanya, teman-teman Tagor yang non Kristen juga memiliki doktrin sendiri, yang isinya cenderung lebih keras dari doktrin ajaran agama yang ia imani. Teman-teman Tagor mengklaim, agama mereka adalah agama yang paling sempurna. Setiap orang yang berada diluar itu, akan binasa karena tidak berhak masuk surga.

Tagor membayangkan bahaya yang akan terjadi, jika tak henti satu sama lain saling tarik menarik untuk berpindah agama. Ia juga membayangkan konplik itu akan meningkat menjadi pertumpahan darah, jika masing-masing pemeluk agama yang berbeda saling beradu superioritas, yang jika ditelusuri tidak akan pernah ada titik temunya.

Pembaca yang budiman ...

Kebenaran adalah sekeping cermin yang tergantung ditangan Tuhan, yang ketika jatuh akan pecah dan hancur berkeping-keping. Artinya, kebenaran yang diibaratkan seperti kaca, jika jatuh ia akan pecah dan hancur menjadi kepingan-kepingan kebenaran.

Begitu pula dengan agama-agama yang ada, yang oleh pemeluknya diklaim sebagai jalan kebenaran. Ia ibarat cermin yang jatuh dari tangan Tuhan, kemudian pecah dan menjadi kepingan-kepingan agama, yang memiliki kebenaran pada tingkat yang sama. Pecahan itulah yang oleh setiap orang kemudian diambil untuk diimani.

Tetapi pada prakteknya, setiap orang yang memungut kepingan itu, berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh. Masing-masing mengklaim, kepingan yang mereka ambil adalah kepingan yang akan menunjukkan jalan yang paling benar. Dan hal ini menjadi salah satu karakteristik umat beragama, dimana mereka saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka tidak butuh pembuktian, karena tindakan ini adalah soal iman.

Manusia bisa saja memiliki hak untuk menyampaikan sabda atau firman Tuhan, tetapi ia tidak bisa bertindak bahkan mencoba menjadi Tuhan. Manusia memang berhak untuk menyampaikan sabda atau firman Tuhan, tetapi tidak berhak untuk menentukan orang, akan masuk surga atau neraka.

Perlu disadari, latar belakang dari semua perselisihan adalah, lantaran masing-masing mengklaim bahwa golongan mereka adalah golongan yang paling benar. Mereka tidak peduli bahwa semua itu adalah warisan, dan mengamini bahwa hal itu Tuhan sendiri yang mengatakan.

Jika bukan Tuhan, lantas siapa yang menciptakan mahluk yang mengimani agama lain. Lalu mereka yang tidak beragama, mengapa sampai sekarang masih dipelihara oleh Tuhan ?

Pembaca yang budiman ...

Semua agama dan aliran kepercayaan yang ada, tak satupun diantaranya meragukan Ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Semua mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Segala-galanya. Jika Ia mau, Tuhan bisa menjadikan semua sama. Agama sama, satu bangsa dan budaya yang sama. Tetapi Tuhan tidak melakukan itu, karena Ia telah menyematkan kebenaran pada perbedaan-perbedaan yang ada.

Lantas ... jika suatu negara didiami oleh rakyat dengan agama yang sama, apakah hal itu akan menjamin kerukunan ?.

Faktanya, beberapa negara yang rakyatnya memiliki agama yang sama, budaya yang sama, mereka justru terlibat konflik yang berkepanjangan. Jadi ... agama yang sama tidak menjamin rakyat sebuah negara hidup dalam kerukunan. Tidak menjamin hidup nyaman dan juga tidak menjamin hidup dalam ketenteraman.

Ketika sentimen mayoritas-minoritas menjajah pikiran, jangan heran kalau rasa kemanusiaan akan hilang dari nurani kita. Coba kita berpikir secara perlahan, jika masing-masing agama menuntut agar Kitab Sucinya dijadikan sebagai dasar negara. Maka kita tinggal menunggu saja kehancuran Indonesia yang kita cinta ini.

Itulah sebabnya, mengapa Indonesia dalam mengambil kebijakan di bidang politik, hukum dan ham tidak berdasarkan Kitab Suci yang ada, melainkan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Pancasila dan UUD ’45 sebagai dasar negara, menjamin kebebesan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meyakini dan menjalankakan ajaran agama masing-masing. Namun mereka tidak berhak memaksakan perspektif dan ajaran agamanya, untuk digunakan sebagai indikator penilaian terhadap warga negara pemeluk agama lain.

Sebuah kelompok agama tidak berhak mengintervensi kebijakan sebuah negara, dimana rakyat negara itu memiliki beragam keyakinan. Agama sebagai lembaga, harus menyadari bahwa mereka adalah sebuah kelompok yang menjadi bagian, dalam satu kesatuan sebagai bangsa dan negara yang berdaulat.

Pembaca yang budiman ...

Suatu saat nanti dimasa yang akan datang, kita akan berkisah kepada anak dan cucu kita, betapa negara ini hampir hancur tercerai berai, hanya karena oknum orang per orang yang saling mengunggulkan dan meributkan warisan masing-masing. Ketika negara lain sudah pergi ke bulan, kita masih sibuk meributkan tentang warisan identitas, yang kita sendiri tidak pernah ditanya terlebih dahulu untuk itu.

Sebagai sesama anak bangsa marilah memandang Indonesia dari perspektif yang sama, dengan berupaya menghindar dari pertikaian-pertikaian yang berpotensi untuk menjadikan Indonesia kita ini terpecah menjadi kepingan-kepingan yang kecil.

Jayalah negeriku, Jayalah Indonesia Raya ... !!!

SALAM GEMILANG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar