Satu
waktu saya dan keluarga bertolak dari Kota Bandung (Jawa Barat) menuju Kota
Pematangsiantar (Sumatera Utara) melalui jalan darat. Dengan menggunakan
kendaraan roda empat (mini bus) diperkirakan perjalanan itu akan memakan waktu
selama 60 (enam puluh) jam, atau dengan perkiraan dua hari tiga malam.
Selang beberapa waktu setelah
meninggalkan Pulau Jawa, rasa penat mulai terasa dan menjalar di seluruh tubuh,
yang kemudian memaksa kami untuk beristirahat sejenak. Saat itu posisi kami
tepat berada di Kota Palembang (Sumatera Selatan), dan seperti ada yang
mengarahkan secara bersamaan kami memilih untuk beristirahat di tepi Sungai
Musi.
Setelah menemukan tempat yang
aman untuk memarkir kendaraan, kemudian saya bersama istri dan anak-anak
bergegas menuju Jembatan Ampera, untuk menikmati indahnya Sungai Musi dari
atasnya.
Setelah
merasa puas menikmati indahnya Sungai Musi dari Jembatan Ampera, kemudian kami
turun dan mendekat ke tepi sungai dengan tujuan menjamah air sungai lewat
sentuhan. Kurang afdol rasanya, jika tak menjamah dan merasakan dinginnya air
Sungai Musi setelah melakukan perjalanan sejauh itu.
Tiba-tiba aku terkejut dan
melihat istriku terpeleset lalu terjerumus masuk ke dalam sungai. Spontan aku
segera mengulurkan tangan untuk meraih istriku, tetapi arus air sungai lebih
cepat menyeret tubuh istriku ke hilir dan semakin lama semakin ke tengah
sungai.
Aku
dan anak-anak tak mampu berbuat apa, selain berteriak minta tolong dan melihat
tak berdaya tubuh istriku semakin jauh terbawa arus sungai. Di depan mataku air
Sungai Musi menelan seluruh tubuh istriku lalu lenyap dan hilang tanpa bekas.
Beberapa jam setelah istriku
tenggelam, kami berusaha untuk menemukannya dengan menggunakan tenaga penyelam
tetapi semua sia-sia. Tampak anak-anak semakin tak mampu menahan tangis semakin
lama semakin keras mereka panggil ibu. Hatiku semakin gundah dan semakin tak
terkendali. Aku terdiam seribu basa, bingung tak tau bagaimana aku harus
bersikap.
Dua
hari sudah upaya pencarian dilakukan tetapi hasilnya tetap saja sia-sia. Dengan
susah payah kami diberi pengertian oleh penduduk setempat agar kami merelakan
yang sudah terjadi, namun kami tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja.
Akhirnya dengan perasaan tidak
menentu kemudian aku dan anak-anak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
pulang ke Kota Bandung dan tidak lagi seperti rencana semula ke Kota
Pematangsiantar. Dengan derai air mata, aku dan anak-anak meninggalkan istri
dan mama tercinta di dasar Sungai Musi.
Dengan langkah lunglai sambil
berderai air mata, aku dan anak-anak menuju tempat dimana mobil terparkir.
Setelah siap, kamipun masuk ke dalam mobil. Aku nyalakan mesin, kemudian dengan
tangan yang hampir tak berdaya kutarik tongkat persnelling dan menempatkannya
pada posisi mundur.
Tiba-tiba
aku mendengar seseorang berteriak dari arah belakang mobil, yang membuatku
terkejut bukan kepalang. Teriakan itu cukup keras dan sangat terbiasa di
telingaku dan memang suara itu adalah teriakan istriku. Aku kenal betul dengan suara itu.
Aku
menoleh ke belakang, namun aku tidak menemukan istriku di sana kecuali tembok.
Aku tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku sungguh kebingungan. Baru
saja aku berada di tepi Sungai Musi bersama anak-anak tetapi apa yang kurasakan
itu sama sekali tidak ada.
Dan
yang paling mengagetkan aku adalah, kini istriku ada di hadapanku. Segera aku menyadari,
rupanya aku baru saja mengalami mimpi buruk. Mengenang mimpi yang begitu
mengerikan itu, keringatku mengucur deras dan mengalir di sekujur tubuhku.
Aku
benar-benar bersyukur tanpa henti, karena peristiwa mengerikan yang baru saja
kualami hanyalah mimpi. Dalam alam setengah sadar aku berusaha untuk mengingat
kembali peristiwa yang baru saja terjadi. Kemudian aku menceritakan mimpi yang
baru saja aku alami kepada istriku, yang sedari tadi tampak gelisah melihat
kondisiku.
Mendengar
penuturanku, lalu istriku memeluk aku dan setengah berbisik ia memintaku untuk
bersyukur kepada Tuhan dengan berdoa.
Peristiwa
itu telah membuka mata hatiku, dan menyadarkan aku bahwa betapa aku sangat
sayang kepada istriku. Setelah peristiwa itu aku merasa cintaku padanya
bertambah semakin besar. Melalui peristiwa itu, aku diberitahu betapa sakitnya
bila kehilangan dia.
Belajar
dari peristiwa itu aku mengambil kesimpulan untuk tidak pernah menyakiti
istriku, baik melalui kata apalagi kekerasan fisik.
SALAM
GEMILANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar