Seperti biasa siang itu aku duduk di sofa ruang tengah, sambil
mengarahkan pandanganku ke televisi yang tengah menyala. Aku terkejut
mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi melalui siaran langsung sebuah
Stasiun Televisi Swasta, yang memberitakan sebuah tragedi yang memilukan di
Surabaya.
Jantungku berdetak kencang saat ku tau aksi terorisme terjadi di kota
Surabaya. Jantungku berdetak bertambah kencang, setelah ku tau aksi teror itu
terjadi di tiga rumah ibadah dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan semakin
keras lagi ketika ku ketahui aksi terorisme itu, terjadi juga di Mapolrestabes
Surabaya.
Aku terduduk layu, otakku tak mampu menjawab pertanyaan hatiku.
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ? ... Aksi bom bunuh diri melibatkan
anak-anak, satu keluarga pula. Sejak peristiwa itu daya tahan tubuhku sedikit
menurun. Aku lebih banyak berdiam diri tidak seperti biasanya agak cerewet. Aku
lebih suka mengurung diri di rumah, daripada keluar dari rumah.
Melihat situasi itu, keluarga menjadi khawatir dengan kondisiku. Sejak
peristiwa Bom Surabaya, perilakuku menjadi aneh. Aku tampak gelisah jika berjumpa
dengan siapa saja yang membawa ransel di pundaknya. Apalagi jika orang itu
menggunakan busana moslem serta memiliki kebiasaan memelihara janggut hingga
panjang. Aku akan semakin takut.
Aksi terorisme ini tergolong model baru. Aksi bom bunuh diri tidak lagi
hanya melibatkan kaum pria saja, tetapi sudah mengikut sertakan kaum perempuan
dan anak-anak. Satu keluarga pula. Hal ini tentu membuat banyak pihak menjadi
prihatin, mengetahui aksi teror semakin berkembang ke arah yang lebih dahsyat.
Begitu juga dengan aku. Keprihatinanku memang membawaku ke ranah takut.
Pasca bom surabaya rasa curigaku terhadap setiap orang semakin meningkat.
Tragedi Surabaya memberitahukan, pelaku bom bunuh diri tidak lagi sebatas kaum
pria berjanggut pengguna busana gamis, tetapi juga kaum wanita ibu rumah tangga
yang melibatkan anak-anak mereka.
Tetapi aku bangkit, kemudian melawan rasa takutku. Teroris harus
dilawan. Teroris tidak boleh menguasai dengan membuatku menjadi takut. Aku
harus memberanikan diri di segala tempat dan peristiwa walau aksi teror
mengancam dimana-mana. Berhasil melawan rasa takut, sama artinya aku
mengalahkan aksi teror.
Aksi teror harus dibasmi. Seperti kata Pemimpin Bangsa Indonesia;
"Basmi sampai keakar-akarnya". Terorisme tidak boleh tinggal di
negeri Indonesia. Jika ingin tinggal di Indonesia, jangan menjadi teroris. Jika
tetap ingin jadi teroris, harus angkat kaki dari NKRI. Termasuk mereka yang
ber-ideologi diluar Pancasila, pergilah jauh dan meninggalkan Tanah Persada,
negeri yang berlandaskan pada Ideologi Pancasila.
SALAM GEMILANG